Penampilan Bawaslu dengan Wajah Baru dan Persoalan Baru
Panwascam Serengan - Badan Pengawas Pemilihan Umum ( Bawaslu ) mulai
menangani laporan pelanggaran administrasi pemilu yang diadukan oleh beberapa
partai politik calon peserta pemilu. Mereka mengadukan Komisi Pemilihan Umum , sejak tanggal 1 nopember 2017
Mereka adalah beberapa dari 13 partai politik yang proses pendaftaran untuk
menjadi peserta pemilu legislatif pada Pemilu 2019, dihentikan. Di antaranya
adalah dua peserta Pemilu 2014: Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan
dan Persatuan Indonesia (PKPI).
KPU tidak melanjutkan verifikasi administrasi maupun verifikasi faktual
atas syarat-syarat menjadi peserta pemilu, karena mereka tidak lengkap
mengajukan semua syarat yang diminta undang-undang. Mereka ternyatakan gagal
sebagai partai poliitk peserta pemilu.
Atas hal tersebut, beberapa partai politik melaporkan ke Bawaslu bahwa KPU
telah melakukan pelanggaran administrasi. Ini adalah jalan pertama yang mereka
tempuh, sebab mereka tidak bisa bersengketa dengan KPU karena KPU belum
mengeluarkan keputusan tentang partai politik peserta pemilu.
Apabila Anda sempat menyaksikan bagaimana Bawaslu mulai menangani laporan
pelanggaran administrasi tersebut, maka sesungguhnya terdapat hal-hal baru.
Sesuatu yang tidak pernah terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya.
Ketua dan anggota Bawaslu tampil formal, berjas hitam berdasi rapi. Mereka
duduk di meja tinggi menghadap pengunjung. Di depan sebelah kanan, duduk para
pelapor dari partai politik, sedangkan depan sebelah kiri, duduk terlapor,
anggota KPU.
Ketua Bawaslu memiliki palu untuk ketukan memulai dan mengakhiri kegiatan,
juga ketukan atas hal-hal penting.
Sajauh ini, baik pelapor maupun terlapor, menyebut “sidang majelis” atau
“ketua majelis” untuk anggota dan ketua Bawaslu. Tapi bukan tidak mungkin
sebutan-sebutan itu akan berubah menjadi “yang mulai mejelis” atau “yang mulai
ketua sidang”.
Ya itulah situasi penanganan pelanggaran administrasi pemilu. Bentuknya
persidangan, bukan lagi rapat kajian sebagaimana sebelumnya.
Sampai saat ini, sesungguhnya peraturan Bawaslu tentang tata cara
penyelesaian pelanggaran administrasi belum disahkan. Bawaslu sudah membikin
drafnya, tetapi belum sempat dikonsultasikan ke DPR, sehingga belum
diberlakukan.
Sidang pendahuuan penanganan pelanggaran adminstrasi tersebut mengacu pada
draf peraturan tersebut. Draf itu sendiri mengacu pada praktik persidangan di
peradilan umum maupun mahkamah konstitusi.
Perubahan penanganan pelanggaran administrasi, dari semula berupa rapat
kajian menjadi persidangan terbuka, merupakan implikasi atas perubahan wewenang
Bawaslu dalam menyelesaikan pelanggaran administrasi pemilu.
Undang-undang pemilu sebelumnya menempatkan Bawaslu hanya sebagai bagian
dari proses penyelesaian pelanggaran administrasi, sedang penuntasnya adalah
KPU.
Dalam praktik, Bawaslu melakukan rapat kajian tentang ada-tidaknya
pelanggaran administrasi dari suatu laporan pengaduan. Jika ada, maka Bawaslu
merekomendasikan kepada KPU untuk menuntaskan pelanggaran itu.
Namun rekomendasi itu sering diabaikan KPU sehingga Undang-undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU No 7/2017) memperkuat wewenang Bawaslu.
Lembaga ini tak lagi sekadar pemberi rekomendasi, tetapi sebagai eksekutor atau
pemutus perkara.
Perhatikan ketentuan Pasal 461 ayat (1) UU No 7/2017: Bawaslu, Bawaslu
Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota menerima, memeriksa, mengkaji, dan memutuskan
pelanggaran administrasi Pemilu.
Lalu Ayat (6) menyatakan: Putusan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu
Kabupaten/Kota untuk menyelesaikan pelanggaran administrasi Pemilu berupa:
a. perbaikan administrasi terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. teguran tertulis;
c. tidak diikutkan pada tahapan tertentu dalam Penyelenggaraan Pemilu; dan
d. sanksi administrasi lainnya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Menurut Pasal 460 UU No 7/2017, pelanggaran administrasi meliputi
pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan
administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu.
Jelaslah, bahwa Bawaslu kini bukan sekadar lembaga pengawas tetapi juga
lembaga peradilan, atau setidaknya menjalankan fungsi-fungsi peradilan,
sehingga tata cara menyelesaikan pelanggaran administrasi pun mengikuti model persidangan.
Atas perubahan tampilan dan wewenang Bawaslu dan menyelesaikan pelanggaran
administrasi pemilu ini terdapat tiga masalah yang harus diperhatikan.
Pertama, Bawaslu menjalankan fungsi-fungsi
peradilan, tetapi pada saat yang sama juga menjalankan fungsi pengawasan. Ini
dobel fungsi yang bisa menimbulkan konflik kepentingan.
Sebagai pengawas pemilu, Bawaslu sudah mempunyai penilaian tertentu atas
suatu kajadian atau kasus pelanggaran administrasi. Padahal kemudian lembaga
ini juga menyidangkan kasus tersebut.
Jelas, penilainnya (ketika menjalankan fungsi pengawasan) akan memengaruhi
putusannya (ketika menjadi lembaga peradilan).
Kedua, hadirnya (lembaga) peradilan pemilu
untuk menangani pelanggaran administrasi, jelas menambah panjang proses administrasi
pemilu, sehingga pemilu tidak hanya semakin mahal, tetapi juga semakin
birokratis, bertele-tele, dan menjauhkan substansi demokrasi.
Ketiga, khusus untuk Pemilu 2019, anggota
Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota direkrut semata-mata sebagai
pengawas pemilu.
Mereka belum tentu memenuhi sebagai hakim peradilan administrasi pemilu,
sehingga ke depan sangat mungkin akan banyak keputusan buruk yang merepotkan
kerja KPU. ** ( Didik Supriyanto ) Kompas.com
Tidak ada komentar